CONTOH DRAF SKRIPSI


DRAF SKRIPSI
NAMA           : LA FULAN
NIM               : 1009090909
JUDUL          :  KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MENGENTASKAN BUTA AKSARA DI DESA TONRALIPUE KECAMATAN TANASITOLO KABUPATEN WAJO
A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional telah di paparkan secara gamblang tentang keseluruhan mengenai pendidikan. Salah satu yang paling pokok di dalamnya adalah bahwa Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[1] Hal inilah yang menjadi dasar acuan kita dalam dunia pedidikan. Oleh karena itu, dalam rana pendidikan tidak ada yang mesti dikesampingkan orang miskin atau orang kaya semua berhak mendapatkan pendidikan.
1
Pendidikan keaksaraan merupakan salah satu pendidikan nonformal, ini sesuai dengan peraturan Pemerintah R.I bahwa program pendidikan nonformal meliputi, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja serta pendidikan kesetaraan.[2]
Masalah pendidikan orang tua dan pemberantasan buta aksara merupakan masalah dunia. Seluruh negara di dunia dan lembaga-lembaga internasional dan berbagai lembaga pendidikan di berbagai masyarakat, kini sedang memperhatikan masalah tersebut, dengan langkah awal mempelajari permasalahannya maupun bebagai usaha mengatasinya. Karena itu kemudian banyak negara baik secara individual maupun kelompok di berbagai kalangan masyarakatnya, berusaha sekeras mungkin untuk menyelesaikan persoalan tersebut.[3]
Pendidikan keaksaraan merupakan salah satu perioritas nasional dengan target menurunkan jumlah orang dewasa buta huruf sebesar 50% pada tahun 2009. Tujuan utama pendidikan keaksaraan fungsional adalah membelajarkan warga belajar agar dapat memanfaatkan kemampuan dasar baca, tulis, hitung dan kemampuan fungsionalnya dalam kehidupan sehari-hari.[4]
Pada rana pendidikan, masyarakat dari kalangan apapun, baik kalangan terendah sampai ke tingkat yang tinggi berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, pendidikan dalam arti luas memang dapat dikatakan sebagai usaha makro, membangun masyarakat baik mengenai perekonomian, kemasyarakatan, kesehatan, dan kejiwaan di samping juga membangun kebudayaannya. Pendidikan yang memiliki arti tersebut berarti menyentuh manusia secara umum, tanpa terikat oleh umur dan pekerjaanya. Oleh karena itu, tentu saja terdapat pemikiran tentang pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna aksara di kalangan mereka.
Telah diakui bersama bahwa meratanya tuna aksara di kalangan orang tua yang dianggap sebagai kelompok masyarakat yang sangat berperan di dalam masyarakat, jelas hal itu akan mempengaruhi pendapatan nasional dan kemajuan ekonomi. Hal itu benar-benar telah dipahami oleh orang-orang yang bertanggung jawab mengenai pendidikan ekonomi. Mereka berpendapat bahwa modal manusia yang bependidikan itu, lebih tinggi nilainya dari pada modal-modal lainnya. Terbukti beberapa negara yang memperhatikan pendidikan orang-orang dewasa, ternyata dampak mereka sangat besar dalam pengembangan ekonomi. Sebaliknya, sangat jelas perbedaannya dengan orang-orang yang telah kehilangan kesempatan belajar, pada umumnya penghasilan mereka lebih rendah dibandingkan dengan penghasilan orang-orang yang telah menempuh pendidikan.
Pada masa ini, pendidikan dituntut dan bertanggung jawab untuk membina masyarakat. Kita rasanya tidak dapat memanfaatkan sesuatu tanpa dengan bantuan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, siapapun yang menerima pendapat tersebut, konsekuensinya bahwa dalam hidup ini yang terpenting bagi setiap orang adalah mencari ilmu pengetahuan atau menjadi orang yang berpendidikan. Sebab tanpa ilmu pengetahuan, seseorang tidak akan mempu menggunakan sarana-sarana kehidupan yang merupakan hasil ilmu pengetahuan itu dengan sebaik-baiknya. Kemajuan apapun bagi negara atau masyarakat, tentu akan memberikan dampak terhadap kemajuan pendidikan dan pengajaran pada masyarakat.
Memang dilematis dan cukup sulit pada zaman sekarang ini, berbagai bidang kehidupan, baik industri, perdagangan, pertanian dan lain sebagainya senantiasa banyak menggunakan peralatan moderen. Dan kita mengetahui bersama, bahwa untuk menggunakan berbagai peralatan tersebut ternyata harus membutuhkan berbagai kemampuan ilmu pengetahuan, baik teori maupun praktek. Lantas bagaimana mungkin orang yang menyandang tuna aksara dapat mendambakan hidup yang moderen seperti sekarang ini.
Di sisi lain, penyandang buta aksara khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari jumlah penduduk 5.618.744 dan di antaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46 s/d 61 tahun ke atas.[5] Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya tindakan-tindakan perubahan agar angka yang cukup menyesakkan dada itu menjadi berkurang dan dapat ditanggulangi.
Dewasa ini pendidikan diartikan sebagai proses belajar seumur hidup dalam situasi informal, nonformal, dan formal. Belajar tidak hanya berlangsung semata-mata di dalam kelas, tetapi juga di luar kelas/ sekolah, di rumah, di masyarakat, di organisasi-organisasi, di tempat-tempat ibadah, di tempat-tempat bekerja, di taman-taman bacaan, dan sebagainya. Para pelajarnya bukan hanya anak-anak tetapi orang dewasa dalam masyarakat.[6]
Pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi siapa saja yang menyandang buta aksara, baik anak-anak maupun orang tua atau lansia sekalipun. Hal ini mengacu pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”.[7]
 Pendidikan keaksaraan bukan hanya tanggung jawab suatu lembaga tertentu atau departemen tertentu saja, akan tetapi tanggung jawab tersebut merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Oleh karena itu, maka seluruh lembaga, departemen, kelompok-kelompok sosial, perniagaan, dan seluruh anggota masyarakat harus bertanggung jawab untuk selalu berperan serta dalam menghadapi masalah pendidikan dan pemberantasan buta aksara.
Dari berbagai pihak yang memiliki peran dalam pemberantasan buta aksara, banyak di antara mereka yang berhasil dan tidak sedikit pula yang gagal dalam memberantas buta aksara. Peran serta dan partisipasi masyarakat penyandang tuna aksara sangat dibutuhkan jika tidak, maka hal ini tentu akan menimbulkan kegagalan.
Begitu juga dengan Keaksaraan fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo tentu akan mengharapkan peran serta masyarakat dalam mengentaskan buta aksara sebagai salah satu penanggung jawab pendidikan keaksaraan. Terbukti dengan adanya lembaga masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ibu-ibu PKK, serta berbagai kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam Keaksaraan Fungsional demi mewujudkan melek aksara.
Dengan adanya berbagai pihak, pemerintah, masyarakat maupun pihak yang ingin berpartisipasi dalam pemberantasan buta aksara ini, ternyata belum mampu untuk secara tuntas mengentaskan buta aksara khusunya di Desa Tonralipue. Walaupun warga masyarakatnya ikut serta dalam program pendidikan keaksaraan tersebut.
Selain itu, yang harus diperhatikan dalam persoalan ini adalah pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan yang sangat sensitif, Sikap yang terkesan menggurui cenderung ditanggapi negatif. Mereka cenderung menghindar, menolak dan merasa tersinggung apabila diperlakukan seperti anak-anak. Mereka akan menolak situasi belajar yang bertentangan dengan konsep dirinya sebagai individu yang mandiri.
Karena sebagian besar peserta didiknya adalah orang dewasa yang cenderung menganggap dirinya mampu untuk membuat keputusan dan mampu menghadapi segala resiko atas keputusannya, serta mengatur hidupnya lebih mandiri. Harga diri sangat penting bagi orang dewasa.[8] Terlebih lagi ketika menghadapi masyarakat suku bugis di pedesaan seperti Desa Tonralipue. Mereka memiliki prinsip hidup yang kuat dan akan sulit untuk dirubah.
Misalnya, mlopo mua etdoeG nedmto nsikol (maloppo mua tedongnge na de’mato nassikola) yang berarti “toh juga kerbau mampu tumbuh dewasa walaupun ia tidak sekolah” dari pepatah inilah kadang seseorang tejebak sehingga mereka tidak lagi memiliki semangat untuk sekolah. Mereka tidak tahu bahwa kaedah sederhana bahwa binatang itu tidak memiliki akal, hanya memiliki insting yang kemudian digunakan untuk mencari makan dan segala hal yang menyangkut dengan dirinya. Sedangkan manusia memiliki akal, budi pekerti dan hasrat untuk melakukan sesuatu. Manusia perlu bekerja dan melakukan segala sesuatu yang menyangkut kehidupannya. Manusia adalah makhluk sosial, mereka saling tolong menolong dan sudah tentu manusia membutuhkan akal serta ilmu yang dimilikinya untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, perlu kita berikan pengarahan kepada orang-orang yang memiliki perinsip tesebut agar mereka mampu meningkatkan kecakapan hidup mereka menjadi lebih baik.
Selain dari prinsip di atas, berbagai macam alasan yang diungkapkan masyarakat mengenai tentang pendidikan keaksaraan. Alasan ketidak mampuan melihat huruf, faktor umur yang sudah lansia, faktor tidak adanya waktu luang untuk belajar karena  sibuk pada pekerjaan dan berbagai faktor lainnya. Itulah sebabnya mengapa pendidikan keaksaraan begitu sulit dibandingkan dengan pendidikan lainnya.
Berdasarkan permasalahan pemberantasan buta aksara di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dalam sebuah penelitian yang berjudul “ Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis bermaksud merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi titik fokus dalam penelitian ini, yakni:
1.      Bagaimana Media Pembelajaran Pengentasan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo?
2.      Bagaimana Metode Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo?

C.    Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penulis mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara yang masih membutuhkan pembuktian melalui data emperis yang diperoleh dari penelitian lapangan dan beberapa literatur yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1.      Diduga bahwa media yang digunakan untuk mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo adalah media-media sederhana yang terdapat di sekitar lingkungan belajar agar warga belajar lebih mampu menyesuaikan diri dengan media yang digunakan oleh para tutor.
2.       Diduga bahwa Metode yang digunakan Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di desa Tonralipue kec. Tanasitolo kab. Wajo adalah metode ceramah dan metode demonstrasi.

D.    Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
Guna memahami secara utuh uraian penulis dalam penelitian yang berjudul “ Keaksaraan Fungsional dalam Memberantas Buta Aksara Di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo”, maka penulis terlebih dahulu menjelaskan beberapa hal yang dianggap memiliki peranan penting dalam membangun teori konsep tersebut, yakni:
1.      Keaksaraan fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar, dan berbicara yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar warga belajar.[9]
2.      Aksara adalah huruf-huruf yang dibaca atau ditulis.[10]
3.      Fungsional adalah kegunaannya, kewajibannya, sesuai dengan fungsi.[11]
4.      Buta dapat diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat. Sedangkan aksara adalah Huruf.[12] Jadi, dapat disimpulkan bahwa buta aksara adalah orang yang tidak mampu untuk membaca dan menulis kalimat sederhana dalam bahasa apapun.[13]

E.     Tinjauan Pustaka
1.      Konsep Keaksaraan Fungsional
Dalam undang-undang Republik Indonesia telah menjelaskan bahwa pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan bagi warga masyarakat yang buta aksara latin agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung, berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar, yang memberikan peluang untuk aktualisasi potensi diri.[14]
Istilah Keaksaraan Fungsional telah lama dikenal, yakni sejak pertengahan tahun 1960-an, dan merupakan konsep yang sangat berpengaruh dalam membangun pendidikan melalui program keaksaraan. Pesona ide tersebut tersebar luas. Banyak pihak yang sangat peduli terhadap ide tersebut, antara lain pendidikan orang dewasa, para ahli pembangunan ekonomi, pekerja pembangunan desa, lembaga-lembaga penyebar inovasi, para perencana dan pelaksana pada lembaga-lembaga internasional. Ide dibalik itu sepertinya adalah bahwa keaksaraan fungsional dapat mempunyai fungsi atau peran membangkitkan pembangunan sosial ekonomi suatu masyarakat.[15]
Untuk memahami konsep keaksaraan fungsional, kita perlu kembali melihat ketika ia dilahirkan, yaitu pada tanggal 8-18 september 1965 dalam suatu konferensi materi pendidikan sedunia tentang pemberantasan buta aksara (eradication of illiteracy) di Teheran, Iran. Selanjutnya, UNESCO (1966) meringkas dan memperjelas konsep tersebut dengan elemen-elemen sebagai berikut:[16]
a.       Program keaksaraan hendaknya tergabung dan terhubung dengan perencanaan ekonomi dan sosial.
b.      Pemberantasan buta aksara hendaknya dimulai dari penduduk yang memiliki motivasi tinggi dan yang bermanfaat bagi pengembangan daerahnya.
c.       Program keaksaraan hendaknya dikaitkan dengan prioritas ekonomi, dan dilaksanakan di daerah yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi.
d.      Program keaksaraan seharusnya tidak hanya mengajar membaca dan menulis, tetapi juga pengetahuan profesional dan teknis sehingga menimbulkan partisipasi pembelajar orang dewasa secara penuh dalam kehidupan ekonomi dan civiv atau kewarganegaraan.
e.       Program keaksaraan merupakan bagian integral dari perencanaan pendidikan menyeluruh dan sistem pendidikan yang berlaku.
f.       Kebutuhan pendanaan fungsional hendaknya berasal dari berbagai sumber pemerintahan dan swasta maupun berasal dari investasi ekonomi.
g.      Program keaksaraan hendaknya membantu mencapai tujuan ekonomi, seperti: meningkatkan produktifitas tenaga kerja, produksi bahan makanan, industrialisasi, mobilisasi sosial dan profesional, kriteria tenaga kerja baru, dan beragamnya aktifitas ekonomi.
Ciri-ciri tersebut mempunyai implikasi penting tehadap beberapa hal, yakni:[17]
a.       Terhadap pengorganisasian program keaksaraan.
b.      Implikasi terhadap perencanaan menyeluruh,  yaitu bahwa perencanaan keaksaraan fungsional di satu sisi harus terpadu dengan perencanaan pendidikan, dan dilain pihak dengan pengembangan sosial ekonomi.
c.       Implikasi terhadap metodologi mengajar; di sini timbul pertanyaan tentang keterpaduan karena keaksaraan harus diajarkan bersamaan dengan pengetahuan profesional dan teknikal.
d.      Implikasi terhadap isi program, yakni ketika faktor ekonomi harus ditekankan pada pengembangan sosial dan partisipasi sosial, dan tidak boleh dipisahkan.
Untuk lebih memperjelas persoalan ini maka perlu dijelaskan pengertian keaksaraan fungsional. Keaksaraan Fungsional adalah suatu pendekatan atau cara untuk mengembangkan kemampuan belajar dalam menguasai dan menggunakan keterampilan menulis, membaca, berhitung, berfikir, mengamati, mendengar dan berbicara pada kehidupan sehari-hari dan lingkungan warga belajar.
Keaksaraan fungsional bertujuan membantu warga belajar dalam menguasai dan menggunakan bahan calistung sendiri untuk membantu mengembangkan kemampuan dan keterampilan membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang dilengkapi dengan keterampilan fungsional sesuai dengan kehidupan sehari-hari.[18] Untuk mewujudkan upaya tersebut, tutor tidak hanya membantu warga belajar membaca, menulis dan berhitung saja, juga diberikan pembelajaran mengenai keterampilan-keterampilan yang mendukung kecakapan hidupnya.
Untuk menyelenggarakan program keaksaraan fungsional dibutuhkan delapan prinsip utama pemahaman penyelenggaraan program ini (Depdiknas, 2006), yaitu:[19]
a.       Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitarnya.
b.      Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan dan potensi/ sumber-sumber setempat.
c.       Proses partisipatif adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan program keaksaraan fungsional harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif.
d.      Fungsionalisasi hasil belajar. Hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisis dan memecahkan masalah keaksaraan yang dihadapi warga belajar.
e.       Kesadaran. Proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya.
f.       Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu.
g.      Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar disetiap daerah yang berbeda-beda.
h.      Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara tutor dan warga belajar.
2.      Perencanaan dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional
Perencanaan pemberantasan buta aksara hendaknya mempunyai sistem yang jelas yakni dimulai dengan mempersiapkan berbagai data kependudukan yang benar-benar mampu menjelaskan seberapa besar dan bagaimana gambaran yang ada mengenai penduduk buta aksara. Dapat pula melakukan berbagai studi, penelitian-penelitian maupun percobaan-percobaan yang baik, untuk mengklasifikasikan beberapa kategori tuna aksara tersebut. Sebab, penentuan data-data kependudukan inilah yang nantinya akan menentukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai pendidikan dan pemberantasan buta aksra dikalangan mereka. Namun semua itu belumlah cukup, karena harus diikuti dengan suatu perencanaan yang baik untuk menentukan berbagai sarana serta merealisasikan tujuan-tujuan tersebut baik mengenai bangunan-bangunan sekolah, tenaga-tenaga pengajar/ guru/ tutor, buku-buku pelajaran, fasilitas-fasilitas maupun sarana dan prasarana lainnya untuk pusat bimbingan, di dalam kelas maupun untuk pelaksanaannya.[20]
Perencanaan pendidikan orang tua dan pemberantasan tuna aksara itu sebaiknya berkaitan erat dengan perencanaan lengkap pendidikan dan pemerintah, sehingga pemerintah dapat memberikan berbagai prioritas kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Untuk melatih para guru mengenai system pendidikan orang tua juga memerlukan suatu perhatian besar dalam rangka merumuskan perencanaan pendidikan tersebut. Di antara beberapa masalah yang sangat sulit yaitu usaha untuk menciptakan kalangan orang-orang yang buta aksara itu, untuk menerima pendidikan tersebut. Begitu pula, sangat sulit untuk merekrut berbagai kekuatan sosial yang ada secara sukarela untuk ikut menangani masalah pemberantasan buta aksara atau pendidikan orang tua.
Dalam pembelajaran pemberantasan buta aksara, maka diperlukan langkah-langkah perencanaan program pendidikan keaksaraan fungsional sebagai berikut:[21]
a.       Membentuk struktur dan memperkuat unsur-unsur kelompok
Hal pertama yang perlu dilakukan oleh tutor dan penyenggara adalah membentuk kelompok belajar. Kelompok belajar bukanlah kumpulan orang, melainkan harus terjalin suatu interaksi di antara mereka sehingga terbentuk sebuah kesatuan kelompok belajar.
Hal paling sederhana yang perlu dibentuk adalah memperjelas tujuan-tujuan kelompok belajar, membentuk struktur (kepengurusan) kelompok, merumuskan norma/ tujuan kelompok, memberi nama kelompok, menetapkan symbol atau lambang kelompok, dan menyusun program kerja kelompok
b.      Melakukan pengukuran awal kemampuan keaksaraan dan kebutuhan belajar.
Mengidentifikasi kemampuan awal warga belajar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi tentang kemampuan awal dalam hal membaca, menulis, berhitung dan pengetahuan dasar yang mereka miliki. Hasil pengukuran kemampuan awal itu sebaiknya direkam/ dicatat dengan baik dan digunakan sebagai titik awal dalam mengmbangkan program belajar. Berikut ini contoh format pencatatan kemampuan awal keaksaraan yang bisa digunakan. Bersama dengan itu, sempat dilakukan identifikasi kebutuhan belajar keterampilan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk mengetahui kebutuhan belajar keterampilan yang diinginkan dan memiliki oleh warga belajar, maka tutor bersama warga belajar menentukan prioritas kebutuhan belajar yang akan dilaksanakan setelah melakukan identifikasi.
c.       Mengidentifikasi tema-tema lokal dan sumber daya belajar setempat
Seiring dengan pendekatan kemampuan awal dan kebutuhan belajar atau masalah sosial di sekitar warga belajar, penting pula tutor melakukan identifikasi terutama yang berguna untuk mendukung penyelenggraan pembelajaran. Termasuk juga sumberdaya lokal yang perlu diidentifikasi adalah perorangan, badan usaha, toko, pasar dan tempat-tempat yang dijadikan sebagai sumber belajar.
d.      Melakukan kontrak belajar
Agar dalam pelaksanaan kegiatan belajar mangajar dapat berjalan dengan lancar maka, tutor dengan warga belajar membuat kesepakatan kapan kegiatan belajar mengajar itu dilaksankan.
e.       Menyusun program belajar
Berdasarkan kontrak belajar dan berbagai data dasar yang dimiliki selanjutnya tutor membuat rencana pembelajaran. Rencana pembelajaran ini dapat juga disebut sebagai agenda kegiatan pembelajaran. Langkah- langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1)   Buat topik-topik pembelajaran berdasarkan minat dan kebutuhan warga belajar.
2)   Buat jadwal pertemuan untuk mengembangkan proses KBM.
3)   Tutor bersama warga belajar mencari bahan bacaan yang berkaitan dengan topik tersebut.
f.       Memilih pendekatan pembelajaran
Pendekatan pembelajaran merupakan prosedur/ langkah atau cara yang berisikan serangkaian komponen pembelajaran keaksaraan (prinsip, kompetensi, tema, materi pokok, langkah-langkah, metode, sumber belajar, media, monitoring evaluasi, tindak lanjut) yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Contoh pendekatan pembelajaran berbasis pada bahasa ibu, pembelajaran berbasis pada seni jiwa, pembelajaran terpadu seni musik jalanan, peer learning, peer konseling, dsb.
g.      Memilih metode pembelajaran
Berdasarkan kemampuan awal, jenis kebutuhan belajar, dan sumberdaya belajar yang terdata, maka tutor dapat memilih dan menyusun metode pembelajaran yang sesuai. Terdapat beberapa metode pembelajran yang dapat dipilih oleh tutor dalam menfasilitasi pembelajaran keaksaraan. Metode pembelajaran itu misalnya dengan menggunakan metode abjad, metode SAS (Structure- Analytic- Shytetic), metode PPB (Pendekatan Pengalaman Bahasa), metode kata kunci (key words), metode abjad/ huruf, metode asosiasi, dan metode miqro.
h.      Menyiapkan sumber belajar
Sumber belajar merupakan segala benda/ barang, aktifitas, kejadian/ peristiwa, lingkungan, manusia dan kondisi yang menghasilkan sumber informasi yang diperlukan dalam proses pembelajaran keaksaraan. Misal: buku, koran, bercocok tanam, lingkungan sekitar (pasar, sawah, rumah, ternak, dsb), tutor, internet, dsb.
i.        Menyiapkan media dan alat pembelajaran
Media dan alat-alat pembelajaran yang disiapkan sebaiknya yang bersifat lokal, murah serta fungsional dalam mendukung ketercapaian tujuan belajar. Bahan dan media belajar pendidikan keaksaraan dapat juga memanfaatkan bahan-bahan cetak yang ada dimasayarakat, seperti buku-buku, koran, majalah, resep makanan, etiket obat, kartu tanda penduduk (KTP), dan sebagainya. Bahkan uang kertas maupun uang logam dapat dimanfaatkan sebagai media dan bahan belajar.
j.        Menyiapkan instrumen administrasi, monitoring dan evaluasi.
Sebagaiman lazimnya program pembelajaran, maka tata usaha yang perlu dilakukan tutor adalah membuat pencatatan pada berbagai buku administrasi yang sesuai. Berbagai buku yang perlu dibuat oleh tutor misalnya buku induk warga belajar, buku persiapan belajar, dan lain-lain. Berdasarkan pencatatan yang baik itu maka, kebutuhan data untuk kepentingan monitoring dan evaluasi program pendidikan keaksaraan yang diselenggarakan akan lebih mudah.
k.      Menentukan alokasi waktu
Alokasi waktu tergambar dalam format rencana pembelajaran adalah jumlah pertemuan dan lama waktu setiap pertemuan, misalnya 2 kali pertemuan @ 120 menit.
l.        Melaksanakan kegiatan pembelajaran
Sebenarnya tidak ada prosedur baku yang harus dilakukan oleh tutor dalam melakukan kesepakatan pembelajaran. Bagaimana kesepakatan pembelajaran yang baik sangat tergantung pada kreativitas dan kemampuan para tutor itu sendiri.
3.      Buta Aksara
Buta aksara terdiri dari dua kata yakni buta dan aksara. buta diartikan sebagai diartikan sebagai tidak dapat melihat, mengenali sesuatu dalam bentuk dan warna dengan cara melihat.[22] Sedangkan aksara adalah sistem tanda grafis atau sistem tulisan yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Dengan sistem tulisan ini, manusia dapat menyimpan kekayaan akal budinya serta mengingat berbagai peristiwa. Karena daya ingat manusia terbatas, dapat dikatakan bahwa tulisan memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pencatatan sejarah dan berbagai macam peristiwa dalam kehidupan manusia. Tanda-tanda grafis yang digunakan untuk pencatatan tersebut adalah huruf.[23]
Aksara dapat terdiri dari huruf-huruf, angka dan aksara khusus. Aksara yang meliputi huruf-huruf adalah:[24]
ABCDEFGHIJKLMNOPQRSTUVWXYZ
Abcdefghijklmnopqrstuvwxyz
Aksara yang meliputi angka-angka ialah:0123456789
Dan aksara khusus yakni +:-*/()=,.’[]<>;{}
UNESCO mendefinisikan buta aksara “ability to identify, understand, interpret, create, communicate and compute, using printed and written materials associated with varying contexts. Literacy involves a continuum of learning in enabling individuals to achieve their goals, to develop their knowledge and potential, and to participate fully in their community and wider society”.[25] Maksudnya adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi dan menghitung, menggunakan material tercetak dan tertulis terkait dengan konteks yang bervariasi. Literasi melibatkan kontinum belajar dalam memungkinkan individu untuk mencapai tujuan mereka, untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi mereka, dan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam komunitas mereka dan masyarakat yang lebih luas.
Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini berkaitan langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas.
Banyak analis kebijakan menganggap angka melek aksara adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang berdalih bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih murah dari pada melatih orang yang buta aksara, dan umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan ini juga menganggap kemampuan baca tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.
4.      Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan Fungsional
a.      Pengertian Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi)
Perlu diketahui bersama bahwa pemberantasan buta aksara adalah hal yang tidak mudah, apalagi kebanyakan dari mereka adalah orang dewasa mulai dari umur 40 sampai 60 tahun ke atas. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyandang buta aksara khusunya di Sulawesi Selatan di tahun 2010 kurang lebih sebanyak 688.561 dari jumlah penduduk 5.618.744 Dan diantaranya terdapat 519.203 penduduk usia 46 s/d 61 tahun ke atas  Oleh karena itu, maka pendidikan keaksaraan biasa juga disebut dengan pendidikan orang dewasa. Hal inilah yang menjadi pokok persoalan dalam pemberantasan buta aksara.
Andragogi berasal dari kata andros atau aner yang berarti orang dewasa. Kemudian  agogos berarti memimpin. Andragogi berarti memimpin orang dewasa. Jadi adragogi dapat didefinisikan sebagai seni dan ilmu mengajar orang dewasa.[26]
Untuk memahami secara mendasar tentang konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini akan diuraikan secara tuntas tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai ahli:
“Dugan (1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya, andragogi berasal dari Bahasa Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan anak-anak, menurut istilah, andragogi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana orang tua belajar. Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan Sudjana dalam Bukunya Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani ”andra dan agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai seni dan ilmu yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of helping adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to helping adult a learner.[27]
Selai itu, UNESCO (Townsed Coles, 1977 dalam Lanundi, 1982) mendefinisikan pendidikan orang dewasa sebagai berikut:
“Keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, apa pun isi, tingkatan, metodenya, baik formal atau tidak, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan semula di sekolah, akademi dan universitas serta latihan kerja, yang membuat orang dianggap dewasa oleh masyarakat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakuny dalam perspektif rangkap perkembangan pribadi secara utuh dan patisipasi dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang dan bebas”.[28]

Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan orang dewasa adalah suatu pendidikan yang berusaha untuk membantu orang dewasa dalam mendapatkan ilmu pengetahuan demi untuk kecakapan hidupnya di masa sekarang dan masa yang akan datang.
b.      Konsep belajar keaksaraan bagi orang dewasa
Belajar merupakan usaha memperoleh kepandaian atau ilmu seperti membaca dan berlatih.[29] Dalam perspektif yang berbeda, belajar adalah suatu tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.[30] Oleh karena itu, definisi belajar dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan usaha sadar untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang keilmuan maupun untuk memperbaiki tingkah laku menjadi lebih baik.
Perlu diketahui bahwa penekanan dalam proses pembelajaran semakin lama semakin diarahkan pada pembelajar, pemberdayaan meraka, serta manfaat bagi mereka, sehingga belajar dikatakan sebagai usaha untuk membangun pemahaman yang mengarah pada tindakan.[31]
Pendidikan orang dewasa tentu sangat berbeda dengan pendidikan anak-anak atau remaja. Hal itu terjadi karena orang dewasa lebih cenderung mempertimbangkan segala hal yang akan dihadapinya, mengingat mereka memiliki tanggung jawab dan kepentingan di setiap kegiatan. Oleh karena itu, Malcolm Knowles mengemukakan beberapa asumsi model pembelajaran orang dewasa yang berbeda dengan pembelajaran anak/ remaja, yaitu: kebutuhan untuk mengetahui, konsep diri, peranan pengelaman, kesiapan belajar, orientasi belajarnya, dan motivasi.[32]
Penjelasan asumsi-asumsi tersebut secara garis besar adalah sebagai berikut:
a)      Kebutuhan untuk mengetahui.
Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu. Oleh karena itu, tugas utama fasilotator adalah membantu warga belajar menjadi sadar akan perlunya mengetahui atau paling tidak fasilotator dapat memaparkan kasus yang bersifat intelektual untuk menunjukkan nilai dari pembelajaran yang akan dijalaninya guna meningkatkan efektifitas kinerjanya atau kualitas hidupnya.
Sarana yang cukup ampuh untuk menyadarkan akan perlunya mengetahui adalah pengalaman sesungguhnya, di mana peserta belajar dapat mengemukakan kesenjangan antara kemampuan yang dimiliki saat ini dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki/ diinginkan.
b)      Konsep diri peserta belajar (pembelajar)
Secara umum orang dewasa memiliki konsep diri bahwa dirinya mempunyai tanggung jawab atas keputusan yang dibuat sendiri atas kehidupannya. Jika mereka telah mempunyai konsep diri tersebut maka:
1)      Mereka akan mengembangkan kebutuhan psikologi yang mendalam untuk diperhatikan orang lain;
2)      Mereka akan diperlakukan oleh orang lain sebagai individu yang mampu bersikap mengatur orang lain;
3)      Mereka akan menolak dan menentang situasi ketika ada orang lain yang memaksakan kehendaknya.
Kosep diri orang dewasa kadang-kadang tidak selamanya konsisten dalam proses kegiatan pembelajaran, misalnya begitu mereka mengikuti sesuatu kegiatan pembelajaran, kadang-kadang mereka kembali lagi ke kondisi seperti pada pengalaman masa lalu ketika mereka sekolah, yaitu mengembangkan konsep ketergantungan. Hal tersebut menjadi tugas fasilitator untuk mengembalikan atau mengembangkan kembali konsep diri siswa sebgai orang dewasa sesungguhnya.
c)      Peranan pengalaman peserta belajar
Orang dewasa memasuki kegiatan pembelajaran membawa pengalaman-pengalaman yang berbeda setiap individu. Hal tersebut memberikan implikasi bahwa mereka adalah heterogen dari segi latar belakang, gaya belajar, motivasi, kebutuhan, minat, sasaran, dan lain-lain. Untuk itu penekanan dalam pembelajaran orang dewasa adalah strategi pembelajaran individu yang mengutamakan teknik menggali pengalaman para peserta belajar melalui diskusi kasus, simulasi, studi banding, dan lain-lain.
d)      Kesiapan belajar
Penentuan waktu belajar (kapan, berapa lama) hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan orang dewasa. Hal yang lebih penting adalah perlu ada rangsangan terjadinya kesiapan belajar melalui pengenalan terhadap model-model pembelajaran orang dewasa.
e)      Orientasi belajar
Orientasi belajar untuk orang dewasa adalah terpusat pada masalah kehidupan/ tugas yang dihadapi. Orang dewasa akan menjadi termotivasi menggunakan energi untuk mempelajari sesuau asalkan mereka merasa bahwa sesuatu yang dipelajari tersebut akan menolong dirinya dalam melaksanakan tugas atau menghadapi dan menyelesaikan masalah yang mereka temui dalam kehidupannya. Mereka akan mempelajari pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai baru dengan cara yang paling efektif, yaitu jika hal-hal baru tersebut ditampilkan dalam konteks penerapannya pada situasi kehidupan yang sebenarnya.
f)       Motivasi
Motivasi orang dewasa untuk belajar, antara lain tanggapan terhadap beberapa dorongan eksternal (posisi kerja yang lebih baik, kenali pangkar, kenaikan gaji, dan lain-lain). Namun dorongan yang paling kuat adalah dorongan internal (keinginan untuk meningkatkan kepuasan kerja, kebanggaan diri, mutu hidup, dan lain-lain). Semua orang dewasa normal akan termotivasi untuk tetap tumbuh dan berkembang, tetapi kadang-kadang terhambat oleh halangan seperti kosep diri negatif, tidak terjangkaunya peluang atau sumber daya, batasan waktu, dan lain-lain.


c.       Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa
Secara garis besar, faktor yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran orang dewasa, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah segala faktor yang bersumber dari dalam diri warga belajar, seperti faktor fisiologis yang mencakup pendengaran, penglihatan, kondisi fisiologis, serta faktor psikologis yang mencakup kebutuhan, kecerdasan, motivasi, perhatian, berfikir, serta ingat dan lupa. Sedangkan eksternal adalah segala faktor yang bersumber dari luar diri warga belajar, seperti faktor lingkungan belajar yang mencakup lingkungan alam, fisik, dan sosial serta faktor sistem penyajian mencakup kurikulum, bahan ajar, dan metode penyajian.[33]
Uraian lebih lanjut mengenai setiap faktor yang mempengaruhi interaksi belajar dikemukakan dalam uraian berikut:
1)      Faktor Fisiologis (Pendengaran, penglihatan dan kondisi fisiologis)
Segala kegiatan belajar mengajar akan sangat dipengaruhi oleh pendengar, penglihatan dan konsisi fisiologi warga belajar. Faktor umur yang sudah dewasa/ tua akan membuat kondisi ketiga hal tersebut tidak lagi berfungsi secara maksimal. Selain itu, kesegaran jasmani, keletihan, kurang gizi kurang tidur, atau sakit yang diderita bisa saja terjadi terhadap setiap warga belajar.
Oleh karena itu, pada jam pertemuan siang atau sore hari pada saat warga belajar telah letih fisik dan mental, kita harus menggunakan strategi belajar membelajarkan yang sesuai, yaitu yang berkadar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), seperti tugas perseorangan, diskusi kelompok kecil, main peran, permainan belajar (game), atau strategi belajar mebelajarkan yang ada unsur menghibur seperti pertunjukan film, video, slide.[34]
2)      Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi proses interaksi belajar warga belajar pada garis besarnya dikelompokkan atas aspek kecerdasan/ bakat, motivasi, perhatian, berfikir, ingatan/ lupa dan sebagainya.
3)      Faktor Lingkungan Belajar
Lingkungan belajar merupakan faktor yang juga sama pentingnya dengan faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh tehadap proses pembelajaran. Lingkungan yang tidak baik seperti kondisi dan letak gedung yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru, dan alat belajar yang berkualitas rendah.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                       
4)      Sistem Penyajian
Agar proses pembelajaran bisa mencapai tujuan yang di inginkan, maka perlu kita memperhatikan sistem penyajian. Seperti kurikulum, bahan ajar maupun metode penyajian. Oleh karena itu, patut bagi setiap guru memperhatikan hal tersebut dan menggunakan strategi dengan penyajian yang baik pada saat proses belajar mengajar berlangsung.
5.      Media Pendidikan
Di dalam pendidikan kita mengenal berbagai istilah peragaan atau keperagaan. Ada yang lebih senang menggunakan istilah peragaan. Tetapi ada pula yang menggunakan istilah komunikasi peragaan. Dewasa ini telah mulai dipopulerkan istilah batu yakni media pendidikan.
Ciri-ciri umum media pendidikan adalah sebagai berikut:[35]
a.       Media pendidikan identik artinya dengan pengertian keperagaan yang berasal dari kata “raga”, artinya suatu benda yang diraba, dilihat, didengar, dan yang dapat dinikmati melalui pancaindra kita.
b.      Tekanan utama terletak pada benda atau hal-hal yang bisa dilihat dan didengar.
c.       Media pendidikan digunakan dalam rangka hubungan komunikasi dalam pengajaran, antara guru dan peserta didik.
d.      Media pendidikan adalah semacam alat bantu belajar mengajar, baik diluar kelas.
e.       Berdasarkan c dan d, maka pada dasarnya media pendidikan merupakan suatu perantara (medium, media) dan digunakan dalam rangka pendidikan.
f.       Media pendidikan mengendung aspek; sebagai alat dan sebagai teknik, yang sangat erat pertaliannya dengan metode mengajar.
Jadi, yang dimaksud dengan media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan peserta didik dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.[36]
Memilih media yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran tidaklah mudah. Selain memerlukan analisis medalam dengan mempertimbangkan berbagai aspek juga dibutuhkan prinsip-prinsip tertentu agar memilih media bisa lebih tepat.
Ada tida prinsip utama yang bisa dijadikan sebagai rujukan bagi guru dalam memilih media pembelajaran/ pendidikan, yaitu: (1) prinsip efektifitasdan efesiensi, (2) prinsip relevansi, dan (3) prinsip produktifitas.[37] Berikut ini diuraikan mengapa prinsip ini penting dan bagaimana memilih media pembelajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut.
a.       Prinsip efektifitas dan efisiensi
Dalam konsep pembelajaran, efektifitas adalah keberhasilan pembelajaran yang diukur tingkat ketercapaian tujuan setelah pembelajaran selesai dilaksanakan. Jika semua tujuan pembelajaran telah tecapai maka pembelajaran tersebut efektif. Sedangkan efisiensi adalah tujuan pembelajaran dengan menggunkan biaya, waktu, sumber daya lain seminimal mungkin.

b.      Prinsip relevansi
Relevansi ini ada dua macam, yaitu relevansi kedalam dan relevansi ke luar. Relevansi kedalam adalah pemilihan media pembelajaran yang mempertimbangkan kesesuaian dan singkronisasi antara tujuan, isi, strategi, dan evaluasi materi pembelajaran. Selain itu, relevansi ke dalam ini juga mempertimbangkan pesa, guru, siswa, dan media yang digunakan sesuai dengan kebutuhan guru, kebutuhan siswa, serta sesuai dengan materi yang disampaikan.
Sedangakan relevansi ke luar adalah pemilihan media yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat. media yang dipilih disesuaikan dengan apa yang biasa digunakan masyarakat secara luas. Oleh karena itu, media pembelajaran hendaknyha disesuaikan dengan problem yang dihadapi peserta didik artinya media yang digunakan sesuai dengan konteks kehidupan peserta didik yang sehari-hari dilihat, didengar, dan dialami.
c.       Sprinsip produktifitas
Produktifitas dapat dipahami sebagai pencapaian tujuan pembelajaran secara optimal dengan menggunakan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.
Dalam memilih media pembelajaran, guru dituntut untuk bisa menganalisis apakah media yang akan digunakan bisa meningkatkan pencapaian tujuan pembelajaran atau tidak. Jika media yang digunakan bisa menghasilkan dan mencapai target serta tujuan pembelajaran lebih bagus, maka media tersebut dikategorikan sebagai media produktif.
Dalam memilih media perlu menganalisis kriteria-kriteria media pembelajaran. Oleh karena itu, para pakar media pembelajaran telah merumuskan kriteria-kriteria tersebut dan kriteria pemilihan media ini didasarkan pada aspek kesesuaian, muru media serta keterampilan guru dalam menggunakan media.
Berikut ini penjelasan mengenai kriteria-kriteria pemilihan media yang perlu diperhatikan, yakni:[38]
a.       Kesesuaian dengan tujuan
Pembelajaran dilaksanakan dengan mengacu pada tujuan yang telah dirumuskan. Maka pemilihan media hendaknya menunjang pencapaian tujuan pembelajaran yang dirumuskan tersebut. Media dipilih berdasarkan tujuan instruksional yang telah ditetapkan yang secara umum mengacu kepada salah satu atau gabungan dari dua atau tiga rana kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tujuan yang dirumuskan ini adalah kriteria yang paling pokok, sedangkan tujuan pembelajaran yang lain merupakan kelengkapan dari keriteria utama ini.
b.      Ketepatgunaan
Tepat guna dalam konteks media pembelajaran diartikan pemilihan media telah didasarkan pada kegunaan. Jika media itu dirasa belum tepat dan belum berguna maka tidak perlu dipilih dan digunakan dalam pembelajaran.
c.       Keadaan peserta didik
Kriteria pemilihan media yang baik adalah disesuaikan dengan keadaan peserta didik, baik keadaan psikologis, filosofis, maupun sosiologis anak. Sebab media yang tidak sesuai dengan keadaan peserta didik tidak dapat membantu banyak dalam memahami materi pembelajaran.
Media yang efektif adalah media yang penggunaanya tidak tergantung dari perbedaan individual peserta didik. Misalnya, jika peserta didik tergolong tipe audtif-visual maka media yang kita gunakan seharusnya juga media berbasis audio-visual. Begitu juga dengan keadaan peserta didik yang kinestetik, maka media yang digunakan juga berbasis kinestetik.
Oleh karena itu, agar media sesuai dengan bekal awal maka sesuaikanlah media itu dengan apa yang telah dipahami peserta didik. Agar media yang digunakan sesuai perkembangan peserta didik maka pilihlah media yang sesuai dengan jenjang perkembagan psikologis mereka.
d.      Ketersediaan
Walaupun suatu media dinilai sangat tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran, media tersebut tidak dapat digunakan jika tidak tersedia. Menurut Wilkonson, media merupakan alat mengajar dan belajar, peralatan tersebut harus tersedia ketika dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan guru.
Jangan sampai seorang guru menentukan dan memilih media yang tidak tersedia di sekolah. Jika guru tidak mampu menyiapkan atau membuat/ memproduksi media yang diperlukanm maka hendaknya memilih media yang tersedia saja di sekolah tersebut untuk menjelaskan materi pembelajaran.
e.       Biaya kecil
Faktor biaya seringkali menjadi pertimbangan utama dalam memilih media pembelajaran. Seorang guru tidak diperkenankan memilih media yang biayanya mahal namun hasil pembelajaran tidak memuaskan. Oleh karena itu, pilihlah media yang murah dan sederhana dengan hasil yang bagus. Kalaupun harus memilih media yang mahal, maka hasil yang dicapai harus lebih baik dan bagus.
f.       Keterampilan guru
Aspek keterampilan guru ini seringkali menjadi kendala tersendiri dalam proses pemilihan media. Banyak guru yang memilih media sederhana dengan alasan tidak bisa mengoperasionalkan media yang lebih canggih atau modern. Padahal dari sisi hasil media yang lebih canggih dan modern bisa menghasilkan pembelajaran optimal.
Apapun media yang dipilih, guru harus mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran. Nilai dan manfaat media amat ditentukan oleh guru yang menggunkannya. Jangan sampai guru memilih media yang dia sendiri tidak mampu mengoperasionalkan secara baik.
Media yang lebih bagus, misalnya proyektor transparansi (OHP), proyektor slide dan film, komputer, dan peralatan canggih lainnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika guru belum dapat menggunkaannya dalam proses pembelajaran sebagai upaya mempertinggi mutu dan hasil belajar.[39]
g.      Mutu teknis
Kualitas media jelas mempengaruhi tingkat ketersampaian pesan atau materi pembelajaran kepada peserta didik. Untuk itu, media yang dipilih harus memiliki mutu teknis yang bagus.
Misalnya, media visual yang dipilih, baik gambar maupun fotografi, harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Visual pada slide harus jelas dan informasi atau pesan yang ditonjolkan dan ingin disampaikan tidak boleh terganggu oleh elemen lain yang berupa latar belakang.
Selain itu, ada empat hal yang perlu juga kita ketahui dalam menggunakan dan memilih media pembelajaran yakni produksi, pserta didik, isi, dan guru.[40]
a.       Pertimbangan produksi
1)      Availability (tersedianya bahan); media yang akan efektif dalam mencapai tujuan, bila bahan dan berada pada sistem yang tepat.
2)      Cost (biaya); harga yang tinggi tidak menjamin penyusunan menjadi tepat, demikian sebaliknya tanpa biaya juga tidak akan berhasil, artinya tujuan belum tentu dapat dicapai.
3)      Pysical cindotion (kondisi fisik); misalnya dengan warna yang buram, akan mengganggu kelancaran belajar mengajar.
4)      Accessibility to student (mudah dicapai); maksudnya, pembelian bahan/ peralatan hendaknya yang dwifungsi, yaitu guru dapat menggunkaannya, peserta didik juga semakin mudah mencerna pelajaran.
5)      Emotional impact (dampak emosional); pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan media harus mempunyai nilai estetika sehingga akan lebih menarik dan dapat menumbuhkan motivasi belajar.
b.      Pertimbangan peserta didik
1)      Student characteristics (watak siswa); guru harus mempu memahami tingkat kematangan latar belakang peserta didik. Dengan demikian, agur dapat menentukan pilihan-pilihan media yang sesuai dengan karakter peserta didik.
2)      Student relevance (kesesuaian dengan peserta didik); bahan yang relevan akan memberi nilai positif dalam mencapai tujuan belajar, pengarunya akan meningkatkan pengalaman peserta didik, pengembangan pola pikir, analisis pelajaran, sehingga dapat menceritakan kembali pelajaran yang telah diajarkan dengan baik.
3)      Student invovement (keterlibatan siswa); bahan yang disajikan akan memberikan kemampuan peserta didik dan keterlibatan peserta didik secara fisik dan mental (peran aktif siswa) untuk meningkatkan potensi belajar.
c.       Petimbangan isi
1)      Penggunaan media harus sesuai dengan isi kurikulum, tujuan harus jelas, perlu direncanakan dengan baik.
2)      Banayak bahan yang sudah diprogram (software) siap pakai/ bahan jadi, tapi kemungkinan bahan jadi tersebut belum tentu cocok dan mungkin sudah ketinggalan zaman hingga tidak sesuai lagi.
3)      Perlu penyajian yang baik dan benar.
d.      Petimbangan guru
1)      Guru harus mempertimbangkan dari segi kemanfaatan media yang akan digunakan sebagai bahan pertimbnagan.
2)      Media yang digunkaan mampu memcahkan permasalahan, jangan malah menimbulkan masalah baru. Maka perlu observasi dan review bahan-bahan tersebut sebelum disajikan.

F.     Metodologi Penelitian
1.      Populasi dan Sampel
a.       Populasi
Dalam mengadakan penelitian, diharapkan dapat memberikan informasi atau daya yang dibutuhkan dan dapat pula dilakukan dengan sebagian objek saja. Penelitian yang dilakukan pada objek yang diharapkan dapat memberikan informasi atau data yang dibutuhkan dinamakan populasi.
Untuk lebih jelasnya pengetian populasi, berikut dikutip dari pendapat Suharsini Arikunto, yang mengatakan bahwa “populasi adalah keseluruhan objek penelitian apabila ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian ini, maka penelitian merupakan penelitian populasi”.[41]
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka populasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah jumlah keseluruhan orang yang yang terlibat dalam keaksaraan fungsional di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo yakni para tutor sebanyak 5 orang dan warga belajar sebanyak 39 orang. Jadi total keseluruhannya adalah 44 orang.
b.      Sampel
Sampel adalah sebahagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.[42] Dalamsuatu penelitian lapangan kerapkali orang tidak bisa menyelidiki secara keseluruhan atau individu objek yang ada. Karena dengan beberapa alasan, misalnya: keterbatasan waktu, biaya, atau dana dan tenaga. Adapun sampel yang dikemukakan oleh Sutrisno Hadi mengatakan bahwa sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi, jumlah sampel paling sedikit atau sifat yang sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan.[43]
Pemilihan sampel didasarkan kepada jumlah yang sudah ditentukan, sebagai wakil penelitian untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran yang akan dijadikan sumber data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang sebenar-benar mewakili populasi.
Dari pengertian di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi yang dijadikan sebagai sumber data. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah 13 orang.
2.      Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu studi yang betujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian yang sedang berlangsung pada saat penelitian tanpa menghiraukan sebelum dan sesudahnya.[44] Data yang diperoleh kemudian diolah, ditafsirkan, dan disimpulkan.
3.      Metode Pendekatan
Dalam penulisan skripsi ini, metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu proses yang mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai kompleksitas yang ada dalam interaksi manusia.[45]
4.      Metode Pengumpulan data
Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.[46] Dalam pengumpulan data-data yang diperlukan dalam penelitian, maka diperlukan beberapa instrumen penelitian sebagai berikut:
a.       Obeservasi
Kegiatan obeservasi meliputi melakukan pencatatan secara sistematik kejadian-kejadian, perilaku, obyek-obyek, yang dilihat dan hal-hal lain yang diperlukan. Pada tahap awal observasi dilakukan secara umum, peneliti mengumpulkan data atau informasi sebanyak mungkin. Tahap selanjutnya peneliti harus melakukan obsevasi yang terfokus, yaitu mulai menyempitkan data atau informasi yang diperlukan sehingga peneliti dapat menemukan pola-pola perilaku dan hubungan yang terus menerus terjadi. Jika hal itu sudah ditemukan, maka peneliti dapat menemukan tema-tema yang akan diteliti.[47]
b.      Wawancara
Wawancara adalah tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai atau pendapatnya mengenai suatu hal.[48] Oleh karena itu, dengan menggunakan metode wawancara, peneliti mengadakan tanya jawab kepada responden atau sampel yang diteliti untuk memperoleh informasi yang behubungan dalam penelitian ini.
c.       Kajian Dokumen
Kajian dokumen merupakan sarana pembantu  peneliti dalam mengumpulkan data atau informasi dengan cara membaca surat-surat, pengumuman, ikhtisar rapat, pernyataan tertulis kebijakan tertentu dan bahan-bahan tulisan lainnya.[49]
5.      Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul melalu prosedur pengumpulan data, maka langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah menganalisa data. Teknik yang dilakukan sangat tergantung pada pokok persoalan dan jenis data yang berhasil dikumpulkan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dalah analisa data yang bersifat deskriptif  kualitatif, ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan akan berdasarkan pada faktor atau fenomena yang ditemukan di lokasi penelitian.
G.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui langkah-langkah yang Ditempuh Keaksaraan Fungsional dalam menumbuhkan kesadaran warga agar ikut serta dalam Pengentasan buta aksara di Desa Tonralipue Kec. Tanasitolo Kab. Wajo.
b.      Untuk mengetahui Metode yang digunakan Keaksaraan Fungsional (KF) dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kec. Tanasitolo Kab. Wajo.
c.       Untuk mengetahui metode Keaksaraan Fungsional (KF) dalam mempertahankan warga belajar agar tetap konsisten dalam pembelajaran buta aksara di Desa Tonralipue Kec. Tanasitolo Kab. Wajo.
2.      Kegunaan Penelitian
a.       Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi untuk lebih memusatkan perhatian terhadap pemberantasan buta aksara sebagai salah satu pendidikan keaksaraan fungsional.
b.      Bagi totor/ guru, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memantapkan pembelajaran keaksaraan fungsional terhadap penyandang buta aksara agar program pemberantasan buta aksara akan cepat terselesaikan.
c.       Bagi warga belajar penyandang buta aksara, akan mendapatkan pembelajaran keaksaraan fungsional dengan kualitas pendidikan yang baik.
d.      Bagi peneliti, dapat dijadikan sebgai referensi untuk penelitian selannjutnya.


KERANGKA ISI (OUTLINE)


BAB I PENDAHULUAN    
A.    Latar Belakang Masalah  
B.     Rumusan Masalah            
C.     Hipotesis  
D.    Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian       
E.     Kajian Pustaka     
F.      Metodologi Penelitian      
G.    Tujuan dan Keguanaan Penelitian
BAB II TINJAUAN PUSTAKA      
A.    Konsep Keaksaraan Fungsional   
B.     Perencanaan dan Pengaplikasian Pendidikan Keaksaraan Fungsional    
C.     Buta Aksara         
D.    Pendidikan Orang Dewasa (Andragogi) sebagai Objek Keaksaraan Fungsional
E.     Media Pendidikan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN    
A.    Jenis Penelitian     
B.     Metode Pendekatan         
C.     Metode Pengumpulan Data         
D.    Metode Analisis Data      
45
 
BAB IV HASIL PENELITIAN       
1.      Media yang digunakan keaksaraan fungsional dalam mengentaskan buta aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.
2.      Metode Keaksaraan Fungsional (KF) dalam Mengentaskan Buta Aksara di Desa Tonralipue Kecamatan Tanasitolo Kabupaten Wajo.  
BAB V PENUTUP   
A.    Kesimpulan          
B.     Implikasi Penelitian          
KEPUSTAKAAN


DAFTAR PUSTAKA


Ahmad, Nazali Shaleh. Al Tarbiyyah wa Mujtama’, ter. Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan Masayarakat. Yogyakarta: Sabda Media, 2011.
Aryad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Arikunto, Suharsini.  Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Basleman, Anisah dan Syamsu Mappa. Teori Belajar Orang Dewasa. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
________“Buta Aksara Fungsional.” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional (08 Maret 2012)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka,1991.
Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, data tahun 2010.
Ensiklopedi Nasional Indonesia. Aksara. Jilid 1 Cet. IV; Bekasi: Delta Pamungkas, 2004.
Hamalik, Oemar.  Media Pendidikan. Cet. VI; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989.
Himpunan PP 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
Kamil, Mustofa.  Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi). Bandung: Alfabeta, 2010.
Kamil, Mustofa. Andragogi, (t.t, t.p, t.th), (17 Maret 2012).
47
Marzuki , M. Saleh. Pendidikan Nonformal. Surabaya: Remaja Rosdakarya, 2010.
Musfiqon, Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran. Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012.
Republik Indonesia. “Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistim Pendidikan Nasional”, bab IV, Pasal Lima ayat 1.
Riduwan. Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta, 2011.
Rohani, Ahmad. Media Instruksional Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sahabuddin. Pendidikan Non Formal: Suatu Pengantar dalam Pemahaman Konsep dan Perinsip-Prinsip Pengembangan. Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang, 1985.
Saliman dan Sudarsono. Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Sugiyono. Statistik untuk Penelitian. Cet. IX; Bandung: Alfabeta, 2002.
Sujarwo. Konsep Dasar Keaksaraan Fungsional: Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri, Yogyakarta, 2008.
Sulton, Latifah. Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional (KF). Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor: 2008.
Suprijanto. Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga Aplikasi. Cet. III; Jakarta:Bumi Aksara, 2009.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar. Cet.XI; Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Tim Prima Pena.  Kamus Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah “Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains. Edisi Lengkap. Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006.
UNESCO. The Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programmes (France:  the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2004.
Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar yang Kreatif dan Efektif. Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2011.



[1] Republik Indonesia, “Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”, bab IV, Pasal Lima ayat 1.
[2] Himpunan PP 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011) , h. 38.
[3] Nazili Shaleh Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’, ter. Syamsuddin Ansyrofi, Pendidikan dan Masayarakat (Yogyakarta: Sabda Media, 2011),  h. 115.
[4] Sujarwo, “ Konsep Dasar Keaksaraan Fungsional” ( Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2008), h. 4.
[5] Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi selatan, data tahun 2010.
[6] Sahabuddin, Pendidikan Non Formal (Suatu Pengantar dalam Pemahaman Konsep dan Prinsip-Prinsip Pengembangan) ( Ujung Pandang: IKIP Ujung Pandang,1985), h. 48.
[7] Republik Indonesia, “ Undang-undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, loc.cit.
[8] Nazili Shaleh Ahmad, Al Tarbiyyah wa Mujtama’., op. cit., h. 119.
[9] Sujarwo, loc. cit.
[10] Saliman dan Sudarsono, Kamus Pendidikan Pengajaran dan Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 8.
[11] Tim Prima Pena.  Kamus Ilmiah Populer: Referensi Ilmiah “Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Sains. Edisi Lengkap (Cet. I; Surabaya: Gitamedia Press, 2006), h. 145.
[12] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Balai Pustaka, 1991), h. 160.
[13] “ Buta Aksara Fungsional,” http://id.wikipedia.org/wiki/Buta_aksara_fungsional ( 08 Maret 2012).
[14] Himpunan PP 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan, op.cit., h. 44.
[15] M. Saleh Marzuki, Pendidikan Nonformal. ( Surabaya: Remaja Rosdakarya, 2010), h. 116.
[16] Ibid., h. 120.
[17] Ibid., h. 121.
[18] Sujarwo,  loc.cit.
[19] Latifah Sulton, Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional, (Skripsi Sarjana, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor: 2008), h. 12-13.
[20] Nazili Shaleh Ahmad, op.cit., h. 123.
[21] Sujarwo, op. cit., h. 7.
[22] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, loc. cit.
[23] Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Aksara”, Jilid 1 (Cet. IV; Bekasi: Delta Pamungkas, 2004), h. 216.
[24] Ibid., h. 215.
[25] UNESCO, The Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programmes (France:  the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization, 2004), h. 13.
[26] M. Saleh Marzuki, op.cit., h. 166.
[27] Mustofa Kamil, Andragogi, (t.t, t.p, t.th), (17 Maret 2012).
[28] Suprijanto, Pendidikan Orang Dewasa dari Teori hingga Aplikasi (Cet. III; Jakarta:Bumi Aksara, 2009), h. 12.
[29] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, op.cit., h. 14.
[30] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar (Cet.XI; Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 68.
[31] Mustofa Kamil, Model Pendidikan dan Pelatihan (Konsep dan Aplikasi) (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 37.
[32] Hamzah B. Uno, Model Pembelajaran: Menciptakan Proses Belajar yang Kreatif dan Efektif (Cet. VII; Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 58.
[33] Anisah  Basleman dan Syamsu Mappa, Teori Belajar Orang Dewasa (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 29.
[34] Ibid., h. 32.
[35] Oemar Hamalik, Media Pendidikan (Cet. VI; Bandung: Citra Aditya Bakti, 1989), h. 11.
[36] Ibid., h. 12.
[37] Musfiqon, Pengembangan Media dan Sumber Pembelajaran (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012), h. 116.
[38] Ibid., h. 118-121.
[39] Azhar Arsyad, Media Pembelajaran (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 76.
[40] Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 30.
[41] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 115.
[42] Sugiyono, Statistik untuk Penelitian, (Cet. IX; Bandung: Alfabeta, 2002), h. 56.
[43] Ibid, h. 221.
[44] Riduwan, Belajar Mudah Penelitia: untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 207.
[45] Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006), h. 193.
[46] Riduwan,  op. cit., h. 69.
[47] Jonathan Sarwono, op.cit., h. 224.
[48] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan., op.cit., h. 1127.
[49] Jonathan Sarwono, op. cit., h. 225.



Silahkan masukkan email anda
Enter your email address:


Delivered by FeedBurner